Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik)



Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Image result for uu ite
Pengertian
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008 adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Tujuan

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
  1. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
  2. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
  3. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
  4. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
  5. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

Image result for uu ite

Peraturan Pelaksana

Sembilan pasal UU ITE mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah;
  1. Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 ayat 2);
  2. Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 ayat 2);
  3. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (Pasal 13 ayat 6);
  4. Penyelenggara Sistem Elektronik (Pasal 16 ayat 2);
  5. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (Pasal 17 ayat 3);
  6. Penyelenggara Agen Elektronik (Pasal 22 ayat 2);
  7. Pengelolaan Nama Domain (Pasal 24);
  8. Tata Cara Intersepsi (Pasal 31 ayat 4);
  9. Peran Pemerintah dalam Pemanfaaatan TIK (Pasal 40);

Berikut pembeberan sejumlah pasal yang mendapat sorotan dan sempat menimbulkan kontroversi di Indonesia sepanjang 2014-2019:

1. Pasal 26 (3): hak untuk dilupakan
    Pasal ini memuat aturan kalau seseorang berhak untuk meminta agar penyedia layanan menghapus jejak digital mereka di suatu platform berdasarkan putusan pengadilan.

Menurut Damar Juniarto, Executive Director of SAFEnet, aturan mengenai hak untuk dilupakan ini pada dasarnya adalah soal privasi dari data seseorang,namun data itu sudah tidak relevan. Selain itu, diberi batasan juga soal siapa dan pada medium apa data bisa dihapus.

"Misal seorang kriminal dengan kejahatan berat dia tidak bisa minta data dirinya dihapus di internet. Tidak berlaku juga untuk arsip-arsip media massa, karena di situ ada hak masyarkat untuk mengetahui informasi," tuturnya saat dihubungi lewat sambungan telepon, Jumat (18/10).

2. Pasal 27: Kesusilaan dan pencemaran nama baik
Pasal ini mengatur soal perbuatan yang dilarang oleh mereka yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat konten yang melanggar kesusilaan (ayat 1), perjudian (ayat 2), penghinaan dan pencemaran nama baik (ayat 3), pemerasan dan ancaman (ayat 4).

Aturan ini dianggap tidak memiliki batasan dan definisi yang jelas. Sehingga, bisa diartikan sesuai dengan keinginan penafsir.

Salah satu yang dipermasalahkan adalah soal definisi kesusilaan pada ayat 1. Pasca kasus Kimi Hime yang juga dijerat UU ITE ayat 1, Kemenkominfo mengadakan diskusi terkait definisi kesusilaan di pasal ini. Namun, belum ada kesepakatan yang diketok palu terkait pelanggaran kesusilaan yang dimaksud dalam pasal ini.

Sebelumya, Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset ELSAM menyebut tanpa definisi yang jelas tertuduh tidak bisa berargumen apakah konten yang ia buat memang melanggar atau tidak.

Pasal ini juga kerap membingungkan. Misal yang terjadi pada kasus mantan guru asal Mataram, Baiq Nuril. Baiq dinyatakan melanggar pasal 27 (1) karena dianggap menyebarluaskan konten asusila. Padahal menurut PAKU ITE, Baiq membuat konten itu untuk mempertahankan diri.

"Baiq Nuril korban, dia berupaya menghindar perbuatan tercela dari atasan, tapi malah terjerat [...] Kita tidak tau dari mana salahnya, dia tidak secara aktif menyebarkan rekaman tersebut," jelas Arsyad.

Lanjut ke ayat (3), ini adalah ayat yang paling populer dipakai untuk menjerat dengan UU ITE. Catatan SAFEnet, pada 2018 ayat pencemaran nama baik paling banyak mendapat laporan.

Kasus-kasus yang terjerat pasal ini diantaranya adalah dua istri anggota TNI yang nyinyir soal penusukan Menkopolhukam Wiranto. Musisi dan politikus Gerindra Ahmad Dhani. Terdakwa video 'Penggal Jokowi' saat unjuk rasa di Bawaslu, Ina Yuniarti. Serta pelaku penghinaan Presiden dengan akun Facebook Aida Konveksi yang menyebut Jokowi sebagai Firaun.

3. Pasal 28: hoaks dan ujaran kebencian

Pasal ini menjelaskan pelarangan atas penyebaran berita bohong dan menyesatkan pada ayat 1 dan ujaran kebencian berbau SARA (suku, agama, ras) di ayat 2. Beberapa pekan lalu, aktivis Dandhy Laksono terjerat pasal ini atas cuitannya mengenai kerusuhan di Wamena.

"Ini yang kita tidak mau. Karena sekarang makin mudahnya kita akses informasi [...] suka tidak suka pemerintah harusnya memberi ruang (kebebasan berekspresi) bagi orang-oirang," tambah Arsyad.

4. Pasal 29: ancaman

Pasal ini terkait ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Menurut Damar, serupa dengan pasal 27 dan 28, pasal ini pun mengandung rumusan tidak jelas, penerapan di lapangan kacau tidak tertib, serta memberikan dampak sosial yang besar.
"Dicabut aja, karena toh sudah aturan tersebut sudah diatur di KUHP dan hukum pidana lain," tuturnya.

5. Pasal 40: pemblokiran konten
Pasal ini terkait dengan kewenangan pemerintah untuk pemblokiran konten (ayat 2a), pembatasan akses konten dan internet (ayat 2b).

Menurut Damar revisi UU ITE tahun 2016 pada kedua ayat ini harus dibenahi. Sebab, menurut Damar pemerintah tidak bisa melakukan pemblokiran sewenang-wenang tanpa pengawasan.

Pembatasan internet yang terjadi di Papua dan Wamena menurut Damar hanya sepihak. Karena pemerintah tidak memiliki standar dan audit yang menjadi dasar penilaian bilamana pemblokiran perlu dilakukan.

"Mestinya atasnya ada pengawasan dan mekanisme yang mengatur. Sehingga ia tidak overcontrol," jelasnya.
Aturan yang sama juga digunakan pemerintah untuk memblokir sejumlah layanan aplikasi yang dinilai melanggar kesusilaan. Misal kasus stiker GIF porno di WhatsApp, konten asusila di Bigo Live, TikTok, dan Tumblr.

Menurut Wahyudi tata cara pemblokiran konten negatif ini mestinya diatur secara rinci. Aturan itu juga mesti mengatur prosedur pemblokiran hingga mekanisme pembukaan blokir.

Wahyudi mengatakan tidak jelasnya kategori konten negatif membuat peraturan ini hanya menguntungkan bagi pemerintah. Sementara bagi pihak yang menjadi 'korban blokir' tidak bisa berargumen atau mempertanyakan kebijakan pemblokiran.

Selain itu, menurut Wahyudi berdasarkan standar internasional, tindakan pembatasan konten dalam bentuk pemblokiran atau penapisan (filtering) itu harus dilakukan oleh institusi pengadilan atau badan lain yang independen. Jika hal ini dilakukan dibawah kementerian ia khawatir akan rawan diwarnai unsur politis. 

Posting Komentar

0 Komentar